Pangan olahan yang beredar di masyarakat terdiri dari
berbagai jenis, ada yang dikemas dengan atau tanpa label, ada yang dijual
secara curah, ada yang berbentuk siap saji dan bisa langsung dimakan. Seiring dengan semakin berkembangnya
teknologi dan adanya upaya-upaya kreatif dari para pelaku usaha, beberapa
pangan yang diproduksi ditambah dengan pengawet untuk memperpanjang umur simpan
dengan tujuan meminimalisir risiko retur dan meningkatkan profit.
Menurut Peraturan Kepala Badan POM Nomor 11 tahun 2019
tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), definisi pengawet adalah Bahan Tambahan Pangan untuk
mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian dan perusakan
lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisma. Suatu produk pangan akan memiliki umur simpan yang lebih panjang, dengan
upaya mencegah atau menghambat kerusakan.
Apakah pengawet dalam pangan yang beredar aman bagi tubuh
manusia? Pertanyaan ini
tidak dapat serta merta dijawab iya atau tidak. Beberapa kriteria
untuk menetapkan bahwa pengawet aman digunakan berdasarkan peraturan Kepala Badan POM no 11
tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan yaitu :
1. Tidak menggunakan pengawet untuk non pangan seperti
formalin, karena formalin merupakan bahan berbahaya dan dilarang digunakan
dalam pangan.
2.
Menggunakan pengawet karena benar-benar diperlukan secara
teknologi.
3. Nama pengawet telah terdaftar dalam Perka Badan POM. Pengawet yang belum terdaftar wajib didaftarkan
terlebih dahulu di Direktorat Standarisasi Produk Pangan Badan POM, untuk
dilakukan pengkajian terhadap efek samping atau risiko kesehatan.
4.
Peruntukan pengawet telah sesuai dengan jenis produk
pangan, karena tiap pengawet memiliki sifat spesifik sesuai dengan bahan kimia
penyusunnya, dan kemungkinan akan bereaksi dalam salah satu tahapan proses
produksi.
5.
Penggunaan berada di bawah batas maksimum yang
diperbolehkan berdasarkan Perka Badan.
Ambang batas maksimal telah ditetapkan dengan mempertimbangkan potensi
risiko terhadap kesehatan manusia
Seiring dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
pelaku usaha dituntut untuk bisa memilih dan menetapkan pengawet yang sesuai,
apabila dalam proses produksi memutuskan untuk menggunakan pengawet. Pelaku usaha yang seharusnya bertanggungjawab, apabila ada
kesalahan dalam memilih pengawet yang digunakan, atau penggunaan pengawet yang melebihi ambang
batas. Berdasarkan UU Pangan no 8 tahun 2012 pasal
136 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk
diedarkan yang dengan sengaja menggunakan bahan tambahan pangan melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan atau bahan yang dilarang digunakan
sebagai bahan tambahan pangan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak 10 milyar.
Namun realitas
di lapangan ternyata tidak semua, sejalan dengan peraturan yang berlaku,
beberapa pelaku usaha “nakal” masih menyalahgunakan formalin sebagai pengawet
yang mudah, murah dan efektifitasnya tinggi.
Beberapa lainnya menggunakan pengawet yang melebihi ambang batas maksimal
yang telah ditetapkan, atau menggunakan pengawet yang tidak sesuai
peruntukkannya. Hasil sampling dan
pengujian BBPOM di Yogyakarta menunjukkan bahwa penggunakan pengawet melebihi
batas, masih ditemukan terutama di produk Industri Rumah Tangga dan sebagian
kecil Industri Pangan, sedangkan pengawet yang tidak sesuai dengan
peruntukkannya ditemukan di pangan siap saji dan sebagian produk Industri Rumah
Tangga. Misalnya bakpia dan roti manis yang seharusnya memakai pengawet
propionat tetapi menggunakan pengawet benzoat, yangko dan bakso yang seharusnya
memakai pengawet sorbat tetapi menggunakan pengawet benzoat.
Peruntukan yang salah ibaratnya melakukan perbuatan yang
sia-sia, biaya produksi meningkat untuk membeli pengawet, tetapi tidak
ber-efek memperpanjang umur simpan
produk, bahkan kemungkinan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Seperti halnya BTP yang lain, pengawet diharapkan hanya digunakan pada produk
pangan jika benar-benar diperlukan
secara teknologi. Tidak semua
produk pangan memerlukan pengawet, pangan siap saji yang memang habis dikonsumsi
dalam waktu 1-3 hari atau pangan yang tidak memerlukan alur distribusi yang
panjang, seharusnya tidak perlu ditambahkan pengawet. Hal ini yang belum dipahami secara benar oleh
sebagian pelaku usaha, sehingga kondisi “benar-benar diperlukan secara teknologi” bukan sebagai
bahan pertimbangan penggunaan pengawet, tetapi lebih ke arah peningkatan
keuntungan .
Tiada henti BBPOM di Yogyakarta melakukan sosialisasi dan
penyuluhan baik kepada pelaku usaha atau masyarakat umum untuk bijak dalam
menggunakan BTP terutama pengawet.
Pengawet boleh, tetapi ada banyak pertimbangan untuk menetapkan apakah
memang digunakan sebagai suatu kebutuhan atau digunakan hanya sebagai
keuntungan. Pada akhirnya konsumenlah yang harus cerdas
memilih produk yang benar-benar sesuai kebutuhan, tidak berlebih dan
mengedepankan pangan yang tanpa pengawet.
ETTY
RUSMAWATI
BBPOM DI YOGYAKARTA
No comments:
Post a Comment